Tulisan ini dibuat setelah saya menghabiskan waktu untuk menikmati karya indah dalam bentuk cinema, “Perayaan Mati Rasa”.
Semakin dewasa kita ngerasa bisa ngelakuin semua sendirian ya.
Sampai kadang semua kegiatan kita yang dulu selalu kita bagi suka dan dukanya
bersama orang tua, sudah tidak bisa lagi dibagikan. Entah apa alasannya…
rasanya berbagi bukan hal yang menyenangkan saja untuk menjadi rutinitas. Kita
yang beranjak dewasa dengan egoisnya memendam semua sendiri. Padahal… orang tua
ingin sekali dilibatkan.
Kalau suatu saat Tuhan memanggil salah satu orang tua kita, lalu
kita ngerasa belum sepenuhnya menghabiskan waktu bersama dengan baik kira-kira
bagaimana rasanya ya? Penyesalan mungkin akan dominan kita rasakan. Mungkin
kalau doa bisa menjadi perantara negosiasi, kita ingin sekali meminta kepada
Tuhan memutar waktu barang sebentar untuk memperbaiki semuanya.
Hari pertama tanpa kehadiran ayah yang kadang kehadirannya setiap hari kita hiraukan terlihat hampa. Suasana
rumah diikuti dengan suasana hati yang sulit dijelaskan, pikiran yang melalang
buana tanpa peta hingga membuat ia tersesat berhari-hari. Suasana itu semakin
rumit jika kita harus menjadi yang terlihat tegar di depan ibu dan adik. Kita merasa
salah jika kesedihan ini berlarut-larut karena biasanya kita memang terlihat “bisa
mengatasi semua dengan baik”.
Duka. Episode dalam hidup yang mau tidak mau harus kita jalani. Tapi
bagaimana duka itu diurai semestinya ternyata aku si paling bisa sendiri ini memilih untuk tegar berdiri tanpa air
mata. Berusaha biasa saja, menjalani hari seperti sedia kala padahal dalam
pikiran riuh tak hingga. Siapa yang mengambil peran mengabarkan keluarga besar
tentang kepergian ayah? Siapa lagi kalau bukan aku si anak pertama yang
terkenal tidak dekat dengan keluarga. Siapa yang berperan menjaga mama setelah
kepergian ayah? Tentu aku si anak pertama yang punya banyak sekenario yang bisa
membuat mama tidak sedih berlarut. Siapa yang menurunkan ego untuk akhirnya
meninggalkan hal yang disukai demi mengurus luka semua orang akibat duka? Tentu
aku si anak pertama yang menginginkan semua keluarga bisa sembuh cepat.
Setelah kepergiannya, banyak hal yang aku tau tentang ayah yang
selama ini ia sembunyikan. Ia sungguh ingin ada dalam setiap tahap tumbuh
kembang anaknya, namun karena rasa tanggung jawab yang membuat ia harus bekerja
jauh dari keluarga membuatnya diam-diam dibunuh rasa bersalah padahal ia
mencoba menjalani perannya dengan baik. Ia tidak menampakan kesedihannya ketika
tidak bisa menghadiri upacara wisuda kita, ayah juga tidak menunjukan
penyesalannya ketika banyak momen penting yang membutuhkan kehadirannya namun
ia tidak ikut serta. Begitulah ayah hidup dengan kesunyiannya, begitulah ia
membiarkan kita menerka bahwa rasa cintanya tak cukup luas untuk kita rasa. Padahal
diam-diam ia menyimpan tangis yang hanya bisa didengar oleh telinganya saja.
Ayah menyesal tidak menunjukan rasa cintanya. Ayah menyesal karena
ia membiarkan asumsi kita terus menumpuk hingga akhirnya menggunung membuat
kita merasa ada atau tidak adanya dia dalam hidup kita rasanya sama saja. Kata ayah,
“mungkin ini harga yang harus ayah bayar karena hidup jauh dari kalian”. Ayah ingin
mencoba memperbaiki semuanya ketika kita beranjak dewasa. Sedang kita yang
sudah merasa dewasa ini merasa sudah terlambat. Sosok ayah penggambarannya
sudah tidak bisa diubah, alat hapusnya sulit ditemukan. Sampai Tuhan memanggil
ia ke pelukanNya, ia belum bisa memperbaikinya.
Namun tenang saja Ayah... anak pertama yang terlihat cuek ini
menjadi yang tiba-tiba paling peduli dengan semua tentangmu. Rasa cinta yang
tadinya tidak terlihat luas, kini lebih luas dari lautan. Kalau boleh berandai
lagi, sebelum kita berpisah aku ingin mengucapkan “terima kasih telah hadir”
menjadi yang berusaha membangun keluarga kecil dengan semua yang kau punya. Aku
akan terus menyukai Laut, karena ada dirimu yang terus berlayar di sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar