Membaca novel “Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati” membuat saya bernostalgia pada hari di mana saya merasa menjadi manusia paling menyedihkan di dunia. Malam itu, saya ingin mengeluarkan kecamuk dalam pikiran dengan menangis (saya sempat berfikir, sudah lama saya tidak menangis). Menjadi orang yang menjalani hidup seperti air yang mengalir ternyata membuat saya berakhir mempertanyakan diri sendiri “apakah ini benar?”, “apakah tidak apa terlalu santai?”, “apakah pencapaian hanya sebatas ini saja?”. Berbagai pertanyaan yang mengurangi rasa percaya diri saya terus terngiang.
Seakan semesta berpihak, tiba-tiba timeline media sosial memperlihatkan pencapaian teman-teman saya yang terlihat luar biasa. Saya merasa semakin kerdil. Bukan rasa iri yang dominan muncul, melainkan penyesalan sehingga rasanya ingin memaki diri sendiri. Malam itu, air mata yang memang sepertinya sudah harus keluar tanpa aba-aba tumpah juga. Saya ingin menjerit, namun kamar ini bukan sebuah tebing tinggi yang bisa menyamarkan suara jeritan. Saya ingin meluapkan semuanya, namun lagi-lagi ruangan ini bukan ruang kedap suara yang sengaja dicipta untuk meluapkan sesal dan kesal. Saya hanya bisa menangis dengan suara tertahan, sampai akhirnya kelelahan dan tertidur dengan sendirinya.
Hah… tak disangka prolog tulisan ini begitu panjang. Awalnya ingin menceritakan apa yang saya dapat setelah membaca novel “Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati”
Menurut saya mie ayam menjadi banyak favorit banyak orang, karena rasanya enak dan harganya murah. Mie ayam bisa menjadi alasan kita “bahagia” walau sebenarnya hari itu sedang tidak berpihak kepada kita. Itu juga yang dirasakan oleh Ale, tokoh utama dalam novel ini. Ale merasa hidupnya sudah tak ada yang spesial, merasa bahwa ada atau tidak ada dirinya tidak ada yang berubah, bahkan ia merasa semua orang yang ia temui memandangnya dengan rasa tidak suka. Tidak ada dukungan dari keluarganya pun membuat tekad Ale untuk bunuh diri begitu nyata.
Namun, sebelum bunuh diri ia ingin sekali menikmati mie ayam langganan nya. Siapa sangka pencarian keinginan terakhir itu ternyata
tidak semudah “makan mie ayam, lalu mati”. Ale kembali menyalahkan diri
sendiri, keinginan sederhana saja tidak bisa ia
wujudkan. Sehingga ia mencoba mencari apa sebabnya mie ayam itu tidak buka
kembali. Pencarian mie ayam ternyata membawanya menjalani takdir yang berbeda
dari yang Ale jalani sebelumnya. Alur cerita kehidupan Ale berubah. Ale menjadi
seseorang yang berbeda dengan Ale yang biasanya ia tampakan kepada teman-teman
nya di kantor juga kepada keluarganya.
Perjalanan ini akan benar-benar panjang, sampai Ale menemukan banyak hal yang ingin ia dengar, menemukan banyak orang yang menghargainya, merasa dirinya dibutuhkan, Ale juga melihat pertama kali orang lain menatap matanya dengan berbinar karena ia bercerita tentang profesinya, mendapatkan jamuan hangat dari seseorang yang mengagumi Ale karena kebaikannya.
Ale selama ini hanya hidup dengan pikiran-pikiran negatifnya. Tidak ada yang memberi tahu kalau Ale itu hebat. Kalau Ale itu baik hati. Kalau Ale itu adalah teman ngobrol yang menyenangkan. Kalau kehadiran Ale membuat banyak dampak bagi banyak orang. Ternyata Ale bisa membagi apa yang ia punya dengan orang lain. Tapi semua rasa itu selama ini tertutup dengan sudut pandang Ale melihat dunia “bahwa semua orang membencinya dan ia tidak pantas di dunia ini”.
Dari cerita Ale, baiknya kita mencari lingkungan yang bisa menghargai kita ya. Yang ketika kita bertumbuh di dalamnya, kita menjadi bunga yang cantik. Tidak harus membicarakan hal-hal luar biasa seperti impian banyak orang dengan harta yang berlimpah, bertumbuh dengan orang-orang sederhana dengan mimpi sederhana pun asal bisa membuat kita melihat sisi hidup yang lebih baik itu bisa menjadikan alasan untuk terus bertahan di kehidupan ini. Jangan sendirian, karena jika Allah menakdirkan kita berkumpul kembali di SurgaNya, akan lebih menyenangkan jika bernostalgia bersama.
Malam itu, saya rasa... saya memandang dunia dengan berlebihan. Sehingga cerita kehidupan yang saya jalani terasa tertinggal. Saya tidak punya pikiran untuk bunuh diri seperti Ale. Karena setelahnya saya bisa berpikir lebih baik dan menemukan banyak alasan untuk menjalani hidup kembali. Alasan sederhana itu sampai sekarang menjadi salah satu alasan saya merasa "hidup saya layak untuk dijalani".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar