Secangkir kopi tanpa adanya obrolan terlihat tidak spesial.
Hanya berteman sepi, aku mencoba tetap menikmati. Tanaman kaktus tersenyum yang disediakan di meja menjadi teman bisu saat ini.
Lalu kau datang. Dengan sopan mengucap salam dan menyapa
dengan kata “Hai”. Layaknya seperti tumbuhan puteri malu, reaksiku pun langsung
tertunduk malu. Tak berani menatap netra matamu.
Obrolan apa yang diharapkan dari dua manusia yang tidak bisa
mencairkan suasana? Aku tak tahu ini terjadi karena kita sama-sama kaku atau
degub jantung kita yang iramanya tak menentu. Lima tahun lalu rasanya kita bisa
bercengkrama tanpa kenal waktu. Mengapa sekarang susah sekali hanya untuk mengurai
rindu?
Lima belas menit berjalan, kita masih ditemani diam. Secangkir
kopi sudah menjadi sepasang. “Apa kabar?” kurasa cukup untuk memulai
perbincangan. Kau menampakkan senyum. Seperti “lega” akhirnya hening mulai
menemukan suara.
Sebuah kotak kecil berwarna abu-abu kau sediakan dihadapanku.
Jangan tanya aku masih mengingatnya atau tidak. Tentu semua tentangmu masih
melekat baik di memoriku.
“Permintaanmu sudah ku tamatkan. Bukalah selagi kau sendiri”
kalimat panjang akhirnya tercipta darimu.
Aku mengambil kotak itu, meletakkannya di tas punggung ku.
“Maaf aku harus pamit” katamu, suara itu nyaris tak terdengar
ditelingaku.
Aku bertanya dalam hati “Apakah hanya ini yang bisa kita
lakukan setelah jutaan detik kita tak bertemu?”. Aku terlalu pengecut untuk
mengutarakannya langsung padamu. Hanya anggukan dari ku yang tercipta setelah
kau ucap kata pamit. Bibirku terlalu kelu untuk mengungkapkan 10 atau 20
pertanyaan yang berkecamuk di kepala.
Kau pergi, memperlihatkan punggungmu yang berlangsung menjauh
dari pandanganku. Kau melupakan sesuatu, tak ada kata “Selamat Tinggal” untuk
pertemuan kali ini. Setidaknya berikan kepastian, aku harus menunggumu atau
melupakanmu.