Sabtu, 09 Mei 2020

Tak Ada Jawaban Setelah Temu





Secangkir kopi tanpa adanya obrolan terlihat tidak spesial. Hanya berteman sepi, aku mencoba tetap menikmati. Tanaman kaktus tersenyum yang disediakan di meja menjadi teman bisu saat ini.

Lalu kau datang. Dengan sopan mengucap salam dan menyapa dengan kata “Hai”. Layaknya seperti tumbuhan puteri malu, reaksiku pun langsung tertunduk malu. Tak berani menatap netra matamu.

Obrolan apa yang diharapkan dari dua manusia yang tidak bisa mencairkan suasana? Aku tak tahu ini terjadi karena kita sama-sama kaku atau degub jantung kita yang iramanya tak menentu. Lima tahun lalu rasanya kita bisa bercengkrama tanpa kenal waktu. Mengapa sekarang susah sekali hanya untuk mengurai rindu?

Lima belas menit berjalan, kita masih ditemani diam. Secangkir kopi sudah menjadi sepasang. “Apa kabar?” kurasa cukup untuk memulai perbincangan. Kau menampakkan senyum. Seperti “lega” akhirnya hening mulai menemukan suara.

Sebuah kotak kecil berwarna abu-abu kau sediakan dihadapanku. Jangan tanya aku masih mengingatnya atau tidak. Tentu semua tentangmu masih melekat baik di memoriku.

“Permintaanmu sudah ku tamatkan. Bukalah selagi kau sendiri” kalimat panjang akhirnya tercipta darimu.

Aku mengambil kotak itu, meletakkannya di tas punggung ku.

“Maaf aku harus pamit” katamu, suara itu nyaris tak terdengar ditelingaku.

Aku bertanya dalam hati “Apakah hanya ini yang bisa kita lakukan setelah jutaan detik kita tak bertemu?”. Aku terlalu pengecut untuk mengutarakannya langsung padamu. Hanya anggukan dari ku yang tercipta setelah kau ucap kata pamit. Bibirku terlalu kelu untuk mengungkapkan 10 atau 20 pertanyaan yang berkecamuk di kepala.

Kau pergi, memperlihatkan punggungmu yang berlangsung menjauh dari pandanganku. Kau melupakan sesuatu, tak ada kata “Selamat Tinggal” untuk pertemuan kali ini. Setidaknya berikan kepastian, aku harus menunggumu atau melupakanmu.